Belum lama ini, saya melihat konten yang kurang lebih isinya berupa “berapa harga outfit lo” dengan talent para pekerja di salah satu kantor. Yang menarik adalah outfit anak magang harganya jauh lebih mahal dibanding outfit karyawan di sana.
Melihat itu, saya jadi teringat ketika saya bekerja di kantor lama kurang lebih di tahun 2021. Kami menerima salah satu anak magang dari kampus terkemuka di Jakarta namanya sebut saja Berto. Orangnya sangat baik, bekerja dengan integritas dan memiliki kemampuan belajar yang baik.
Pada suatu sore saat turun hujan, kami para karyawan bersenda gurau mengenai pulang kebasahan karena kami semua membawa sepeda motor untuk pulang-pergi. Ketika ingin mengajak Berto bercanda kami memastikan dulu dia naik motor atau naik kendaraan umum, di luar dugaan ternyata dia bilang kalau dia membawa mobil.
Sontak jawaban itu tidak bisa kami jadikan candaan, rasanya kami semua sama-sama tidak menyiapkan jawaban lanjutan karena tidak memiliki ekspektasi ada karyawan yang naik kendaraan pribadi berupa mobil.
Kita Semua Memiliki Garis Start Masing-masing
Cerita seputar konten barang branded anak magang dan Berto tadi menjadi jembatan bagi saya untuk membahas mengenai garis takdir manusia. Hal yang tidak banyak orang bisa menerima bahwa garis start setiap manusia itu berbeda, sehingga garis finish-nya tidak harus sama.
Memasuki usia dewasa, saya mendengar banyak keluhan dari manusia yang selalu membandingkan pencapaiannya dengan orang lain.
Ketika ada orang yang di usia 25 sudah bisa membeli rumah, dia yang masih ngontrak merasa berkecil hati. Tak jarang, dia mulai menyalahkan hal-hal lain seperti orang tuanya, jalan hidupnya, bahkan tuhannya.
Hal ini kurang lebih serupa juga seringkali mengganggu pikiran saya. Hingga pada akhirnya saya menyadari bahwa garis start perjalanan hidup manusia itu berbeda. Dan itu bukanlah salah siapa-siapa.
Saya lahir dari keluarga pedagang sederhana dengan lima bersaudara, saya tidak banyak tahu tentang penghasilan ayah saya, tapi yang pasti saya tidak pernah mendengar beliau mendapatkan omset hingga puluhan juta.
Dengan keadaan seperti itu, tidak etis rasanya kalau saya memaksa orangtua saya untuk membelikan saya mobil pribadi atau menyekolahkan saya di sekolah swasta internasional yang biaya uang semesternya hingga belasan juta.
Oleh karena itu juga, tidak apple to apple rasanya bila saya harus membandingkan hidup saya dengan hidup orang sebaya yang merupakan anak dari pejabat yang bapaknya memiliki gaji ratusan juta.
Tapi Hidup Tetap Harus Berkompetisi
Apa yang saya tulis di sini intinya adalah kita harus hidup dengan garis akhir (harapan) yang sejalan dengan garis awal dimana kehidupan dimulai. Jangan membandingkan diri kita dengan mereka yang memiliki keberuntungan memiliki garis start lebih depan dan lebih mudah.
Tapi, bukankah hidup itu memang harus berkompetisi? Bukankah hidup itu harus selalu maju dan menjadi lebih baik dari masa lalu? Jawabannya adalah, benar sekali!
Kita bisa berkompetisi dengan mereka yang memiliki garis start yang sama, kita juga bisa mencari profil orang sukses yang memiliki background yang tidak jauh berbeda dengan kita, kemudian kita jadikan role model dan menjadi sukses seperti mereka.
Jadi, mari tetap semangat menjalani hidup, menggapai mimpi, dan terus bahagia!